Abstract:
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, mempertegas bahwa penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dibawah lingkup Peradilan Agama. Akan tetapi, setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah, khususnya pada Pasal 55, Peradilan Agama bukan satu-satunya peradilan yang menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah. Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dapat diselesaikan juga di Pengadilan Umum. Di sini terdapat ambiguitas dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Akibatnya, masyarakat menjadi bingung dalam menyelesaikan permasalahan sengketa perbankan syari’ah. Hal ini bertentangan dengan amanat UUD 1945 yang menyatakan bahwa peraturan harus mengandung kepastian hukum (rechtstaat), sehingga peraturan tersebut berlaku efektif di masyarakat. Setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang membatalkan penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008, barulah peradilan agama merupakan satu-satunya peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Ketentuan ini sesuai dengan asas personalitas keislaman